Jika anda pernah berkunjung ke Situ Cileunca Kecamatan Pangalengan
Kabupaten Bandung, anda tentu akan melihat gugusan daratan di seberang
situ Cileunca. Dari kejauhan gugusan daratan itu seperti sebuah pulau
kecil. Namun sebenarnya itu bukanlah sebuah pulau kecil, itu adalah
sebuah desa, Desa Pulosari namanya. Disana terdapat satu SD Negeri,
itulah SDN Tribakti.
Sekolah tersebut bisa dibilang sekolah sederhana. Bangunannya tidak
terlalu megah seperti sekolah lain. Satu jejer dengan jumlah empat
kelas, dan satu jejer lainnya dengan kapasitas tiga kelas sedang
dibangun. Dananya pembangunanya dari pemerintah melalui Dana Alokasi
Khusus (DAK). Toilet untuk siswa ada dua. Letaknya disamping gedung
yang sedang dibangun. Air ditoiletnya kadang mengalir, kadang juga
tidak.
Muridnya tidak kurang dari delapan puluh lima orang.
Gurunya tidak lebih dari enam orang. Dari enam orang tersebut, guru yang
berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) berjumlah empat orang. Selebihnya
adalah pegawai honorer dengan gaji SATUJUTA, alias sabar jujur dan
tawakal. Tidak ada penjaga sekolah khusus. Setelah jam sekolah selesai,
sekolah tersebut dititipkan kepada masyarakat yang ada disekitar.
Begitulah SDN Tribakti.
Namun, siapa sangka, dibalik kesederhanaan tersebut sebenarnya tersimpan
potensi bencana yang belum disadari serius oleh komunitas sekolah.
Sebagai SD yang terletak disekitar situ dan berada didataran tinggi
Bandung Selatan, kondisi tanahnya labil. Sedikit getaran dari dalam
perut bumi sangat mudah terasa.
Selain itu, sebagai daerah yang berada tidak jauh dari pengeboran gas
bumi yang dilakukan oleh salah satu perusahaan multinasional, sering
kali desa Pulosari mengalami getaran seperti gempa. Walaupun belum ada
penelitian yang mengatakan bahwa getaran tersebut berasal dari mana,
namun masyarakat sekitar meyakini bahwa getaran tersebut berasal dari
aktifitas pengeboran tersebut.
Diluar dua kondisi tersebut, secara umumpun diketahui bahwa Kabupaten
Bandung, sebagai salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Barat memang
mempunyai potensi bencana yang tinggi. Potensi bencana tersebut yaitu
gempa bumi.
Menyadari potensi dan ancaman bencana tersebut, komunitas sekolah yang
terdiri dari guru, kepala sekolah, siswa serta masyarakat berembuk,
berkumpul untuk menyiapkan sekolah serta komunitas didalamnya agar siap
siaga dalam menghadapi bencana.
Dengan dipandu oleh pihak ketiga (baca:fasilitator) dari Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM)Studi Drya Media (SDM) yang memang sengaja diminta Bank
Dunia untuk mendampingi sekolah dalam menyusun program sekolah aman,
semua komunitas sekolah berembug, merumuskan rancangan program yang
dibutuhkan.
Rembugan hari itu nampak semarak. Orang tua siswa nampak banyak yang
hadir. Dari yang muda sampai yang tua semuanya hadir diruangan. Jumlah
masyarakat yang hadir jauh melebih jumlah guru. Suasan bertambah riuh
dengan kehadiran ibu-ibu yang datang dengan membawa anaknya. Antusiasme
warga dalam rembugan terlihat begitu besar. Hanya saja, dipertemuan
tersebut didominasi oleh ibu-ibu saja. Menurut pengakuan ibu-ibu,
bapak-bapaknya tidak bisa hadir karena mereka punya kesibukan di kebun.
Jadi untuk permasalahan sekolah diserahkan kepada ibu-ibunya. Adapun
bapak-bapak yang hadir dipertemuan itu adalah ketua RW sekaligus ketua
komitenya.
Setelah pemaparan kondisi fisik dan non fisik oleh fasilitator, sesi
rembug ini dilanjutkan dengan pembahawan visi, misi serta program
sekolah yang aman dari bencana. Pak Nana (49) wakil kepala sekolah
memberikan pendapat bahwa sebaiknya visi dan misi yang dibuat tidak
hanya mewadahi masalah fisik saja, akan tetapi mewadahi juga
permasalahan non fisik. Alasannya bahwa gedung yang kuat jika tidak
didukung oleh kesiap-siagaan, maka akan terasa kurang ujarnya.
Pendapat ini kemudian diamini oleh Bapak Hardani (52) kepala sekolah,
yang memberikan tambahan sekaligus usul konkret bahwa visi yang harus
dipakai kuncinya adalah mengembangkan bukan membangun. Alasan logisnya
karena sekolah sudah punya modal besar yang masih berpotensi untuk
dikembangkan. Semua hadirian menyepakti kerangka visi yang akan dibuat.
Sesi penyusunan visi dan misi ini ditutup oleh pendapat dari hadirin
paling tua, sebutlah Mak Inoh namanya, umurnya sekitar 70 tahun. Mak
Inoh berpendapat bahwa bangunan yang kuat harus juga didukung oleh
orang-orang yang sehat dan kuat didalamnya. Alasanya, jika orang-orang
didalamnya tidak sehat dan kuat, tentu saja proses belajar mengajar
tidak akan maksimal. Gedung yang bagus tidak akan terpakai dengan
maksimal.
Rembug dilanjutkan dengan penyusunan program kerja. Dalam penyusunan
program kerja ini, warga tidak terlalu aktif. Dalam sesi ini, guru-guru
terlihat lebih aktif. Pak Hendra (35) guru olah raga mengatakan bahwa
yang pasti program tersebut harus menyentuh sisi fisik dan non fisik.
Program fisik dan non fisik harus berpadu, karena sekolah yang aman
bukan hanya aman dari segi fisik saja, akan tetapi juga warga didalamnya
harus siaga.
Secara lebih khusus, Pak Hendra mengusulkan bahwa program non fisik,
berupa penambahan pengetahuan serta, tindakan-tindakan yang harus
dimasukan sebagai salah satu program kerja prioritas. Dengan alasan
sebagai guru olahraga, pak Hendra mengusulkan agar dalam program non
fisik memasukan program pelatihan kesiapsiagaan komunitas sekolah dalam
menghadapi ancaman gempa.
Menambahkan hal tersebut, Bapak Tatang (50) mengusulkan agar pelatihan
tersebut tidak hanya melibatkan komunitas sekolah saja, akan tetapi juga
melibatkan masyarakat yang ada disekitarnya. Alasanya bahwa warga
disekitarpun mempunyai keterbatasan kemampuan dalam menghadapi bencana
berupa gempa. Selain itu, wargapun merupakan pihak yang tidak
terpisahkan dari sekolah, karena mereka menyekolahkan siswanya di SD
Tribakti. Akhirnya forumpun sepakat untuk tidak hanya mewadahi komunitas
sekolah saja, akan tetapi juga komunitas warga sekalian.
Setelah pak Hendra, selanjutnya Pak Hardhani yang mengusulkan program
kerja. Menurut pak Hardhani bahwa kondisi bangunan SD Tribakti masih
mempunyai banyak kekurangan terutama jika dikaitkan dengan potensi
gempa. Salah satu hal penting yang menurut Pak Hardhani harus segera
direalisasikan adalah perluasan gerbang sekolah.
Dalam amatan pak Hardhani, luas gerbang sekolah tidak memadai jika
dibandingkan dengan jumlah siswa, apalagi ketika terjadi gempa yang
biasanya diikuti dengan kepanikan. Oleh karena itu, dalam jangka waktu
satu tahun renovasi gerbang sekolah harus jadi prioritas.
Selanjutnya Ibu Tijah (49) salah satu guru perempuan menambahkan, bahwa
selain kesiagsiagaan komunitas sekolah serta bangunan yang tahan gempa,
hal kecil yang harus diperhatikan adalah perlengkapan sekolah sekait
bencana. Menurut Ibu Tijah, bencana, salah satunya adalah bencana gempa
merupakan hal yang sulit diprediksi, oleh karena itu sekolah harus
bersiap dengan berbagai resiko. Salah satunya adalah menyiapkan
perlengkapan setelah terjadinya gempa. Ibu Tijah, menyadari bahwa tidak
selamanya komunitas sekolah berada dalam kondisi siaga. Oleh karena itu
program pengadaan perlengkapan ketika terjadi dan sesudah bencana
menjadi hal penting.
Terakhir, dalam rangka mengawal pengimplementasian beberapa program
tersebut, semua pihak menyepakati bahwa harus ada kelompok pengawal yang
ditugaskan oleh sekolah secara resmi. Tugas penting dari kelompok ini
adalah membuat rancangan teknis dan detail pelaksanaan program tersebut.
Untuk mengetuai kelompok ini, Bapak Hardhani menugaskan sekaligus
mengintruksikan kepada Bapak Nana untuk menjadi ketua tim ini.
Pertimbangan pentingnya adalah karena Bapak Nana dianggap cakap dan
punya banyak pengalaman.
Tanpa banyak berbicara, Bapak Nana menerima instruksi dan tugas
tersebut, namun dengan syarat.Bapak Nana ingin didukung secara penuh
oleh semua komunitas sekolah dan masyarakat.
Tidak terasa rembug telah berjalan lebih dari tiga jam. Walau masih
terlihat antusias, namun poin-poin penting pertemuan telah didapat.
Pertemuan segera diakhiri. Bapak Hardhani menutup sesi ini dengan cepat,
lalu langsung meminta semua guru dan fasilitator untuk ke ruang guru
dan kepala sekolah.
Ternyata diruang guru, telah tersedia nasi tumpeng lengkap dengan lauk
dan kerupuk. Kami segera dipersilahkan untuk menikmati hidangan yang
telah disediakan. Selidik demi selidik, ternyata rembug hari ini
bertepatan dengan selamatan pembangunan gedung baru yang didanai dari
DAK itu. Jadi hari itu, lengkaplah sudah kondisi SD Tribakti, bangunan
akan segera beres dan dokumen yang berisi program penyiapan sekolah aman
siap dilaksanakan.
Sambil menikmati sajian nasi tumpeng, suasana damai meresap perlahan. Dari seberang Situ Cileunca, masyarakat, guru, kepala sekolah, komite, siswa telah membangun mimpi sekaligus siap membuatnya menjadi kenyataan. Semoga.
Sumber : Aang Kusmawan (Kab. Bandung)