Suasana pagi di pertigaan by pas Buah Batu di Soekarno Hatta waktu itu
sudah terasa begitu ramai. Mobil dan motor hilir mudik, datang dari
berbagai arah. Entah mau pada kemana. Saya tidak terlalu
mempedulikannya. Saya hanya bergegas menyebrangi ruas jalan Soekarno
Hatta, hendak ketemu dengan salah satu kawan seperjuangan untuk lima
bulan ini dalam program advokasi sekolah aman di Kabupaten Bandung.
Ya, kawanku, dia bernama Asep Saepudin, atau dia lebih senang disebut
Abet Silet. Entah kenapa dia senang dipanggil seperti itu, penjelasan
yang dia berikan tempo hari tidak terlalu jelas. Dan akupun tidak
terlalu ingin tahu kenapa nama itu melekat, yang penting aku cukup
nyaman memanggil dia demikian, dibandingkan harus memangginya dengan
nama asli. Aku merasa terlalu formal jika harus memanggilnya dengan nama
asli. hehehe.
Tanpa banyak bicara, juga tanpa helm yang lupa di bawa Abet, perjalanan
menuju Kertasari segera di jelang. Walau agak khawatir karena tidak
memakai helm, perjalanan terus dijelang sambil berdoa tidak ada polisi
yang tiba-tiba iseng menilang kami.
Bagiku, Kertasari sudah sangat begitu akrab. Dalam tiga tahun mencoba
menjajal keikhlasan dengan menjadi pengajar disana telah memberikan
banyak pengalaman dan menjadikan Kertasari begitu akrab. Suasananya yang
sunyi, mentari paginya yang menyegarkan serta Gunung Wayang yang
menjadi identitas Kertasari adalah hal yang membuatku cukup betah
tinggal disana. bagiku, hanya satu hal saja yang agak menggangu tentang
Kertasari, yaitu kondisi jalannya yang cukup buruk di beberapa titik.
Bagi orang yang belum terbiasa, atau bahkan baru pertama kali
mengunjungi Kertasari, hal tersebut tentu saja akan menjadi mimpi buruk.
Dan celakanya, Abet ternyata belum pernah ke Kertasari sekalipun. Dia
lebih sering dan lebih akrab dengan Sumedang, karena memang sebelumnya
dia bekerja sebagai konsultan PNPM di Sumedang. Sudah bisa dipastikan
bahwa perjalanan menuju Kertasari, akan menjadi mimpi buruknya di bulan
ramadhan ini. Saya tidak bisa berbuat apa-apa selain sedikit menghibur
Abet bahwa perjalanan menuju Kertasari akan disuguhi oleh bentang alam
nan cantik. Saya menyarankan agar Abet jangan terlalu banyak lihat ke
bawah, lebih baik lihat kedepan agak jauh atau kesamping saja, karena
jauh didepan atau disamping ada pengalaman yang begitu indah.
Saranku cukup ampuh. Abet, ikut saranku, namun tetap saja tak merubah
keadaan. Perjalanan dirasa cukup berat setelah melewati Ciparay dan
memasuki Kecamatan Pacet. Jalan mulai nanjak, jalan yang bolong mulai
didapati dimana-mana. Memasuki Kertasari, jalan terasa lebih terjal dan
lebih jelek. Badan terasa agak "cangkeul", namun apa boleh buat waktu
terus berjalan, tidak ada untuk berhenti sebentar untuk sekedar
meluruskan kaki. Perjalan terus di jelang.
Perjalanan terasa semakin berat tatkala memasuki perkebunan teh
Kertasari. Jalan yang dilalui tidak bisa lagi dikatakan dalam kategori
jelek, namun lebih jalan tersebut, meminjam istilah Abet, lebih pas
kalau disebut "walungan saat". Tidak ada bekas aspla sedikitpun yang
menempel. Ruas jalan hanya diiisi oleh batu yang lumayan besar serta
debu-debu yang membuat wajah tidak karuan. Perjalanan semakin menyiksa
karena jarak menuju sekolah cukup jauh. Bagi aku yang terbiasa, kondisi
sepetrti ini dinikmati saja, tapi bagi Abet, ah terasa sangat menyiksa
katanya.
Namun demikian, akhirnya derita perjalanan tampaknya sedikit akan
sedikit berakhir. Dari agak kejauhan atap sekolah yang masih ada genteng
dan tidak gentengnya mulai terlihat. Rupanya sekolah yang dituju sudah
mulai pada tahapan merehab.
Begitu memasuki halaman sekolah, Bu Betti terlihat di depan sekolah,
kayaknya akan menyambut kami, karena memang sebelumnya sudah
kontak-kontakan. Memasuki SD Kertasari 1, hawa dingin pertama kali
menyergap, lalu setelahnya keabraban mulai begitu terasa. Bu Bety, dan
beberapa guru yang usianya lebih muda membawa kami pada suasana
keakraban yang menarik.
Segera saja abet mulai berbicara mengenai maksud kedatangan kami.
Selanjutnya Abet, mulai mengeluarkan beberapa peralatan perang. Jangka
sorong, meteran serta beberapa poster mulai dikeluarkan. Mulailah,
kepsek dan guru-guru serta kepala tukang menyimak "ceramah" Abet dengan
serius. Tampaknya kondisi ramadhan tidak mempengaruhi konsentrasi mereka
untuk menyimak. Setelah ceramahnya selesai, Abet segera mengajak kepala
tukang ke lapangan melihat bangunan yang akan direhab yang terlihat
sudah mulai di bongkar.
Setelah Abet berlalum, tugasku fungsionalku sebagai fasilitator sosial
mulai dijalankan, pertanyaan ini, itu mulai dilontarkan. Dengan
diselingi oleh beberapa humor ala orang sunda, proses wawancara terjadi
dengan begitu akrab dan beberapa canda tawa. Kurang dari sejam, proses
wawancara selesai.
Beberapa kesimpulan mendasar dapat diambil. Pada dasarnya, sekolah cukup
akrab dengan bencana, namun pengetahuan dan kemampuan mereka dalam
bencana, termasuk didalamnya cara membaca kerentanan, apa yang haris
dilakukan ketika terjadi bencana ternyata belum terlalu banyak dan
mendalam. Mereka hanya paham jika terjadi bencana harus segera keluar
dari ruangan. Sungguh sangat sederhana.
selain itu, pada tataran normatif, kebencanaan belum menjadi input
penting dalam menyusun dokumen normatif berupa perencanaan jangka
menengah dan panjang. Namun, ketika ditanya apakah perihal kebencanan
penting untuk dimasukan dalam penyusunan perencanaan jangka menengah dan
panjang sekolah.
Seuasai wawancara, aku penasaran ingin melihat juga apakah bangunan yang
ada telah sesuai dengan konseo sekolah aman. Tentu saja yang aku lihat
hanya hal yang dasar-dasar saja, semisal bukaan pintu, serta penyusunan
genteng. Setelah sedikit berkeliling, ternyata keduanya masih belum
masuk dalam kriteria konsep bangunan dengan sekolah aman.
Pada pintu, ternyata bukaan pintu masih kedalam dan daun pintunya hanya
satu, hal ini menjadi semakin menghawatirkan ternyata semua pintu
disekolah mempunyai bukaan kedalam dan semuanya satu pintu. Sementara
itu pada penyusunan genteng, terlihat bahwa susunan ujung genteng tidak
mempunyai penahan di ujung. Hal ini cukup bahaya, karena ketika terjadi
gempa akan mengakibatkan gentengnya jatuh langsung ke bawah tanpa ada
penahan.
Jelas ini akan sangat berbahaya karena akan langsung menimpa kepala
siswa. Sambil melakukan observasi dan menerangkan sedikit hal tersebut
kepada kepala sekolah, secara perlahan pengalaman mereka menjadi sedikit
bertambah mengenai struktur bangunan yang tahan gempa. Walaupun
pemahaman mereka belum tentu diikuti oleh tindakan dalam memperbaiki,
setidaknya mereka sudah mendapatkan gambaran penting. Kalaupun mereka
tidak merubah disekolah, besar harapanku dirumah-rumah mereka akan
melakukan sedikit perubahan.Cerita di SD Kertasari, nun juah di ujung
mata segera berakhir. Kami bergegas menuju sekolah lain. SD Kertasari
II, SD Tarumajaya 2, SD Sukamaju. Perjalanan hari ini ternyata masih
sangat panjang!
Sumber : Aang Kusmawan (Kab. Bandung)